Sudah beberapa kali negara ini mengubah kurikulum pendidikannya. Pergantian demi pergantian terus dilakukan, katanya sih semua demi mewujudkan cita-cita bangsa ini untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya, lewat mencerdaskan warganya. Perbaikan demi perbaikan terus dilakukan, semua demi menemukan satu formula yang benar-benar mutakhir dan efektif demi mewujudkan cita-cita itu.
Apa semua yang selama ini dilakukan itu sudah berhasil ?
Saya akui, terlalu riskan untuk langsung memberikan vonis tentang berhasil atau tidaknya pergantian demi pergantian serta perbaikan-perbaikan kurikulum yang selama ini dilakukan. Toh, pergantian demi pergantian dilakukan terasa begitu cepat, bahkan sebelum kita mengetahui hasil dari pemberlakuan suatu kurikulum. Setidaknya, dari sini saya bisa menilai bahwa memang dari pihak pemerintah sendiri masih memiliki ketidakpuasan atas setiap kurikulum yang diberlakukan. Namun, jika kita korelasikan dari peringkat kualitas pendidikan di Indonesia, maka setiap kurikulum yang diberlakukan TIDAK BISA dikatakan berhasil.
Yah, memang sih, kewenangan utama terkait pemberlakukan kurikulum ada di tangan pemerintah. Akan tetapi, sebagai seorang pelajar, saya pribadi memiliki impian dan harapan khusus mengenai seperti apa kurikulum yang saya inginkan. Emm, anggap saja ini seperti usulan, tapi juga PROTES atas ketidaknyamanan saya dan mungkin pelajar lain atas kurikulum yang selama ini diberlakukan pemerintah.
Selama saya bersekolah, setidaknya ada tiga kurikulum berbeda yang pernah saya rasakan, yaitu Kurikulum KTSP, Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2013 Edisi Revisi. Lihat, tidak sedikit bukan ? Ini bukan ukuran ideal untuk seorang pelajar mengalami 3 kurikulum berbeda dalam setidaknya 9-10 tahun saya duduk di bangku sekolah. Menjengkelkan, sekaligus menyusahkan saya yang memang tidak pernah merasa benar-benar sesuai dengan kurikulum-kurikulum tersebut.
Terkadang, dalam beberapa kesempatan, saya sering membayangkan ketika belajar di sekolah, dimana ada suasana ketika murid dan guru itu "disejajarkan". Berdiskusi bersama, menciptakan suasana belajar yang menantang, TANPA HARUS MEMIKIRKAN NILAI DAN LULUS/TIDAKNYA SAYA. Belajar bersama dalam kondisi yang fleksibel, tidak terus-menerus duduk di kursi dengan meja, serta guru yang menerangkan lewat papan tulis.
Penekanan guru terhadap murid untuk PAHAM tanpa harus terus mencoba mengujinya pada selembar soal. Belajar tentang bagaimana penerapan langsung materi pelajaran dalam kehidupan nyata nantinya. Harus disadari bahwa terkadang, seseorang bisa gagal dalam kehidupannya karena dia tidak menemukan cara menghadapi masalahnya, salah satunya saat masih duduk di bangku sekolahnya.
Ingin rasanya, belajar bersama guru yang berperan sekaligus sebagai orang tua dan sahabat. Yang saat ketika mendapatkan nilai yang kecil, bukan hanya terus-menerus menekan agar saya mendapatkan nilai yang besar. Tapi uga yang belajar bersama, ikut merasakan, dan menjalani prosesnya bersama-sama.
Ingin rasanya, tidak lagi menemukan guru yang seolah mencitrakan dirinya keras, lalu kemudian berdalih dengan memberikan label "keras yang mendidik". Padahal sama sekali tidak mengerti apa yang dialami muridnya.
Ingin rasanya, mengungkapkan hal lain yang saya impikan terkait kurikulum dan hal lain yang nantikan terkait dunianya para pelajar. Semakin banyak saya mengungkapkan, saya sadari akan semakin banyak orang yang justru berbalik memberikan label kepada saya sebagai "Pelajar banyak Maunya".
Terasa tidak pantas memang, ketika saya hanya menuntu ini dan itu, padahal saya belum melakukan apa-apa untuk lingkungan sekitar saya. Tapi, inilah, entah apapun itu timbal balik yang saya terima, itu tidak akan mengubah atas apa yang selalu saya impikan. Namanya juga MIMPI. Kemungkinan yang dimiliki hanya ada 2, akan kenyataan atau akan tetap menjadi mimpi. Jadi, jangan salahkan orang yang bermimpi.
Terima kasih.
NRUtama Blog
Blog Pribadi | Membahas Dunia Pelajar, Remaja, Pendidikan, Sosial dan Topik Menarik Lainnya
Thursday, February 1, 2018
Wednesday, January 31, 2018
Ketika Saya Tidak Mau Diatur Oleh Guru
Sebagai seorang pelajar yang tak berilmu, kemudian datang ke sekolah untuk mencari ilmu dan pengetahuan, seorang guru memang memiliki peran yang luar biasa dan tak ternilai. Mereka yang membuat saya akhirnya mengetahui apa yang sebelumnya saya ketahui, dan membuat saya mengerti apa yang sebelumnya tidak saya pahami.
Namun demikian, seseorang yang dikenal banyak orang sebagai seorang pahlawan, tentunya tak lepas dari kesalahan dan kekurangan yang menjadi penunjuk bahwa mereka juga tidak terlepas dan kodratnya sebagai manusia. Meskipun mereka guru, ilmu yang mereka miliki juga merupakan yang mereka dapatkan dari guru-guru mereka. Kebanyakan dari mereka memang tidak mendapatkan teori-nya sendiri, yang merupakan hasil dari penelitiannya.
Karena mereka pun sangat bisa melakukan, menjelaskan dan mengatakan kekeliruan atas apa yang mereka ajarkan, lantas bagaimana sikap seorang murid?
Hal yang mesti kita lakukan jika menemukan kekeliruan dari guru kita, dan kita memang mengetahui sesuatu yang lebih benar, maka mencoba meluruskannya merupakan tindakan yang harus kita lakukan. Namun, dari apa yang selama ini saya temukan sendiri, hal diatas memang tidak bisa serta-merta berjalan sedemikian mudahnya. Ada polemik yang terkadang muncul dari kedua pihak, guru dan muridnya.
Dari si murid, terkadang timbul rasa takut dan kekhawatiran untuk mengatakan sesuatu yang sebetulnya benar kepada gurunya, alasannya karena takut memiliki kesan 'mengajari' gurunya sendiri. Dari si guru, terkadang merekalah yang memiliki sikap untuk tidak ingin diajari dan menjaga reputasi, apalagi jika diluruskan oleh salah seorang muridnya sendiri di depan murid-muridnya.
Tak hanya itu saja, terkadang timbul sesuatu yang lebih rumit lagi, manakala ketika seorang murid merasa benar, kemudian meluruskan gurunya, ditambah gurunya yang merasa lebih benar dan tidak ingin diajari muridnya. Keduanya kemudian berdebat di kelas, di depan orang lain.
Lantas, sebetulnya, bagaimana kita mestinya menyikapi kondisi-kondisi seperti ini?
Seperti yang sudah saya sampaikan di awal, bahwasanya seorang guru pun tidak kan lepas dari yang namanya kekeliruan. Saya sebagai seorang pelajar, sangat berharap semua guru menyadari hal ini. Seorang guru pun tidak semestinya merasa mereka yang lebih tahu semua hal dibanding muridnya, hanya karena gara-gara title 'guru' yang dimilikinya.
Dan sebagai seorang murid, jika kita memang mengetahui kekeliruan dari penjelasan guru, maka semestinya kita meluruskannya, daripada kekeliruan itu terus tumbuh pada diri murid lain yang memang sebelumnya tidak mengetahuinya. Dan jika pun menjumpai perdebatan, berdasarkan pengalaman saya, itu bukanlah sesuatu yang salah.
Ego masing-masing lah yang membuat perdebatan panjang, terus-menerus berlangsung. Dan jika pada akhirnya memang perdebatan tidak menemukan titik cerah, maka jalan diskusi merupakan hal yang sudah semestinya di ambil. Saya memiliki masukan, jika memang kedua pihak tidak ingin menimbulkan kesan yang negatif terkait hubungan guru dan muridnya, maka pertemuan 2 pihak secara tertutup lebih baik diambil.
Inti dari semua ini, berdasarkan sudut pandang yang saya ambil sebagai seorang pelajar, saya ingin menyampaikan bahwa TIDAK SELAMANYA Guru Benar! Namun, sebagai seorang pelajar, kita tidak boleh mengambil sikap yang menurukan citra dari guru, apalagi mengubah pandangan banyak orang. Dan untuk para guru, saya pun ingin menyampaikan bahwa semua guru harus menyadari ini dan lebih terbuka terhadap murid-muridnya terkait setiap masukan yang diberikan.
Terima kasih. Semoga bermanfaat.
Namun demikian, seseorang yang dikenal banyak orang sebagai seorang pahlawan, tentunya tak lepas dari kesalahan dan kekurangan yang menjadi penunjuk bahwa mereka juga tidak terlepas dan kodratnya sebagai manusia. Meskipun mereka guru, ilmu yang mereka miliki juga merupakan yang mereka dapatkan dari guru-guru mereka. Kebanyakan dari mereka memang tidak mendapatkan teori-nya sendiri, yang merupakan hasil dari penelitiannya.
Karena mereka pun sangat bisa melakukan, menjelaskan dan mengatakan kekeliruan atas apa yang mereka ajarkan, lantas bagaimana sikap seorang murid?
Hal yang mesti kita lakukan jika menemukan kekeliruan dari guru kita, dan kita memang mengetahui sesuatu yang lebih benar, maka mencoba meluruskannya merupakan tindakan yang harus kita lakukan. Namun, dari apa yang selama ini saya temukan sendiri, hal diatas memang tidak bisa serta-merta berjalan sedemikian mudahnya. Ada polemik yang terkadang muncul dari kedua pihak, guru dan muridnya.
Dari si murid, terkadang timbul rasa takut dan kekhawatiran untuk mengatakan sesuatu yang sebetulnya benar kepada gurunya, alasannya karena takut memiliki kesan 'mengajari' gurunya sendiri. Dari si guru, terkadang merekalah yang memiliki sikap untuk tidak ingin diajari dan menjaga reputasi, apalagi jika diluruskan oleh salah seorang muridnya sendiri di depan murid-muridnya.
Tak hanya itu saja, terkadang timbul sesuatu yang lebih rumit lagi, manakala ketika seorang murid merasa benar, kemudian meluruskan gurunya, ditambah gurunya yang merasa lebih benar dan tidak ingin diajari muridnya. Keduanya kemudian berdebat di kelas, di depan orang lain.
Lantas, sebetulnya, bagaimana kita mestinya menyikapi kondisi-kondisi seperti ini?
Seperti yang sudah saya sampaikan di awal, bahwasanya seorang guru pun tidak kan lepas dari yang namanya kekeliruan. Saya sebagai seorang pelajar, sangat berharap semua guru menyadari hal ini. Seorang guru pun tidak semestinya merasa mereka yang lebih tahu semua hal dibanding muridnya, hanya karena gara-gara title 'guru' yang dimilikinya.
Dan sebagai seorang murid, jika kita memang mengetahui kekeliruan dari penjelasan guru, maka semestinya kita meluruskannya, daripada kekeliruan itu terus tumbuh pada diri murid lain yang memang sebelumnya tidak mengetahuinya. Dan jika pun menjumpai perdebatan, berdasarkan pengalaman saya, itu bukanlah sesuatu yang salah.
Ego masing-masing lah yang membuat perdebatan panjang, terus-menerus berlangsung. Dan jika pada akhirnya memang perdebatan tidak menemukan titik cerah, maka jalan diskusi merupakan hal yang sudah semestinya di ambil. Saya memiliki masukan, jika memang kedua pihak tidak ingin menimbulkan kesan yang negatif terkait hubungan guru dan muridnya, maka pertemuan 2 pihak secara tertutup lebih baik diambil.
Inti dari semua ini, berdasarkan sudut pandang yang saya ambil sebagai seorang pelajar, saya ingin menyampaikan bahwa TIDAK SELAMANYA Guru Benar! Namun, sebagai seorang pelajar, kita tidak boleh mengambil sikap yang menurukan citra dari guru, apalagi mengubah pandangan banyak orang. Dan untuk para guru, saya pun ingin menyampaikan bahwa semua guru harus menyadari ini dan lebih terbuka terhadap murid-muridnya terkait setiap masukan yang diberikan.
Terima kasih. Semoga bermanfaat.
Tuesday, January 30, 2018
Pokoknya, BODO AMAT!
Saat mendapatkan nilai kecil di sekolah, diejek teman dan guru karena pencapaian itu, pokoknya, BODO AMAT! Selagi kita sudah berusaha serta berdoa semampu kita, meraih nilai yang kecil di sekolah bukanlah hal yang buruk. Jangan pedulikan, entah nantinya dihina, tidak naik kelas, atau bahkan tidak lulus, itu bukan batasan untuk ada meraih kesuksesan. Cari jalan hidup anda, lewati, lalu kemudian anda capai segala cita-cita yang ada miliki.
Negara saya bukanlah negara maju? Pokoknya, BODO AMAT! Saya tidak peduli kondisi negara saya, bahkan jika memang dalam titik yang tidak baik. Saya tidak peduli jika negara lain menghina negara saya. Yang harus saya dan kita semua lakukan adalah bagaimana membawa negara ini terbebas dari gambaran buruk di atas. Tidak perlu memusingkan diri dalam memikirkan bagaimana kondisinya saat ini.
Saat mendapatkan nilai besar dan membanggakan di sekolah, dipuji, disanjung, pokoknya, BODO AMAT! Tidak ada yang mesti dibanggakan, tidak ada alasan untuk mendapatkan pujian dan sanjungan, toh nantinya apa dan bagaimana kehidupan kita selanjutnya tidak akan dipengaruhi dari hasil tersebut. Tetap lakukan hal yang positif!
Mau jadi orang miskin, pokoknya, BODO AMAT! Saat jadi orang miskin, mungkin itulah saat dimana saya diuji tentang bagaimana untuk tetap menjalani hidup dengan baik dalam keterbatasan, dan saat itu pula dimana saya menguji orang-orang kaya dalam menyikapi harta yang mereka punya. Orang miskin bilang jadi pencuri, orang kaya tetep ada yang jadi koruptor, bukan ?
Entah anda setuju atau tidak dengan tulisan saya ini, pokoknya, BODO AMAT! Toh, ini tulisan dan blog pribadi saya, difikir menggunakan otak saya, diketik pakai laptop saya dan ditujukan bukan untuk anda. Anda setuju, berarti anda sepemikiran dengan saya. Jikalau pun tidak setuju, setidaknya anda sudah jadi pengunjung blog saya, bukan ?
Negara saya bukanlah negara maju? Pokoknya, BODO AMAT! Saya tidak peduli kondisi negara saya, bahkan jika memang dalam titik yang tidak baik. Saya tidak peduli jika negara lain menghina negara saya. Yang harus saya dan kita semua lakukan adalah bagaimana membawa negara ini terbebas dari gambaran buruk di atas. Tidak perlu memusingkan diri dalam memikirkan bagaimana kondisinya saat ini.
Saat mendapatkan nilai besar dan membanggakan di sekolah, dipuji, disanjung, pokoknya, BODO AMAT! Tidak ada yang mesti dibanggakan, tidak ada alasan untuk mendapatkan pujian dan sanjungan, toh nantinya apa dan bagaimana kehidupan kita selanjutnya tidak akan dipengaruhi dari hasil tersebut. Tetap lakukan hal yang positif!
Mau jadi orang miskin, pokoknya, BODO AMAT! Saat jadi orang miskin, mungkin itulah saat dimana saya diuji tentang bagaimana untuk tetap menjalani hidup dengan baik dalam keterbatasan, dan saat itu pula dimana saya menguji orang-orang kaya dalam menyikapi harta yang mereka punya. Orang miskin bilang jadi pencuri, orang kaya tetep ada yang jadi koruptor, bukan ?
Entah anda setuju atau tidak dengan tulisan saya ini, pokoknya, BODO AMAT! Toh, ini tulisan dan blog pribadi saya, difikir menggunakan otak saya, diketik pakai laptop saya dan ditujukan bukan untuk anda. Anda setuju, berarti anda sepemikiran dengan saya. Jikalau pun tidak setuju, setidaknya anda sudah jadi pengunjung blog saya, bukan ?
Wednesday, November 22, 2017
Pelajar, Lebih Baik Kalian TIDAK SEKOLAH
Sebagai seorang pelajar, terkadang saya merasa bahwa lebih baik tidak sekolah.
Lebih baik tidak sekolah jika yang dituntut orang tua, guru dan pemerintah hanya sebuah nilai.
Lebih baik tidak sekolah jika yang dicari hanyalah sebuah nilai, hingga mengubah substansi dari pendidikan.
Lebih baik tidak sekolah jika kemudian bersedih hanya karena mendapatkan nilai kecil.
Lebih baik tidak sekolah jika kemudian menyombongkan diri hanya karena mendapatkan nilai yang besar.
Lebih baik tidak sekolah jika selalu takut terhadap guru, bukannya menghormati guru.
Lebih baik tidak sekolah jika sungkan untuk meluruskan kesalahan guru.
Lebih baik tidak sekolah jika hanya untuk mencari rekan tawuran dan rekan untuk melakukan hal-hal yang sia-sia.
Lebih baik tidak sekolah jika hanya diam, duduk di kursi kelas, menerima materi pelajaran dan pemahaman saja, kemudian meremehkan pentingnya pendidikan lain di luar pendidikan formal.
Lebih baik tidak sekolah jika berdalih untuk fokus belajar mata pelajaran kurikulum untuk tidak ikut serta berorganisasi.
Lebih baik tidak sekolah jika takut salah menjawab soal.
Lebih baik tidak sekolah jika yang selalu diinginkan adalah selalu bisa menjawab soal dengan benar.
Lebih baik tidak sekolah jika di rumah masih selalu berbuat buruk terhadap orang tua dan tak baik di masyarakat.
Lebih baik tidak sekolah jika ke sekolah hanya untuk mencari kepintaran dan kekayaan. Bersekolahlah dan menimba ilmulah untuk mencari kebahagiaan.
Lebih baik tidak sekolah jika yang dituntut orang tua, guru dan pemerintah hanya sebuah nilai.
Lebih baik tidak sekolah jika yang dicari hanyalah sebuah nilai, hingga mengubah substansi dari pendidikan.
Lebih baik tidak sekolah jika kemudian bersedih hanya karena mendapatkan nilai kecil.
Lebih baik tidak sekolah jika kemudian menyombongkan diri hanya karena mendapatkan nilai yang besar.
Lebih baik tidak sekolah jika selalu takut terhadap guru, bukannya menghormati guru.
Lebih baik tidak sekolah jika sungkan untuk meluruskan kesalahan guru.
Lebih baik tidak sekolah jika hanya untuk mencari rekan tawuran dan rekan untuk melakukan hal-hal yang sia-sia.
Lebih baik tidak sekolah jika hanya diam, duduk di kursi kelas, menerima materi pelajaran dan pemahaman saja, kemudian meremehkan pentingnya pendidikan lain di luar pendidikan formal.
Lebih baik tidak sekolah jika berdalih untuk fokus belajar mata pelajaran kurikulum untuk tidak ikut serta berorganisasi.
Lebih baik tidak sekolah jika takut salah menjawab soal.
Lebih baik tidak sekolah jika yang selalu diinginkan adalah selalu bisa menjawab soal dengan benar.
Lebih baik tidak sekolah jika di rumah masih selalu berbuat buruk terhadap orang tua dan tak baik di masyarakat.
Lebih baik tidak sekolah jika ke sekolah hanya untuk mencari kepintaran dan kekayaan. Bersekolahlah dan menimba ilmulah untuk mencari kebahagiaan.
Thursday, November 16, 2017
Saya Malu Jadi Orang Indonesia
Entah apapun perasaan orang-orang di luar sana kepada negara ini. Baik atau buruk.
Entah apapun yang sudah saya lakukan selama in di negara ini.
Entah bagaimanapun saya menjalani hari demi hari di negara ini.
Saya sebenarnya malu jadi orang Indonesia.
Saya sebenarnya malu jadi orang Indonesia yang cuma bisa mengomentari kekurangan negara ini dengan "keras", tapi bahkan untuk upacara bendera pun saya malas.
Saya sebenarnya malu jadi orang Indonesia yang cuma bisanya memaki-maki tim olahraga Indonesia, padahal di saat yang lain saya memuji-muji mereka karena kemenangan yang mereka raih dari usaha yang mereka lakukan.
Saya sebenarnya malu jadi orang Indonesia yang bisanya terus mengungkit kekurangan pemerintah dan jarang menyadari hal lain yang bermanfaat untuk saya, yang sudah diusahakan pemerintah.
Saya juga sebenarnya malu jadi orang Indonesia yang bisanya selalu diam beribu bahasa dengan apapun yang terjadi di negara ini dan sama sekali tidak memikirkan nasib bangsa ini, apalagi untuk memberikan kontribusi yang lebih untuk negara ini.
Saya benar-benar malu.
Saya sangat malu menjadi orang Indonesia ketika melihat pejabat yang merupakan penggrus negara menjadi orang yang mata duitan, kemudian dengan jabatannya dia mengambil uang rakyat.
Saya sangat malu menjadi orang Indonesia ketika melihat sekelumit rakyat negara ini memiliki prestasi dalam cabang olahraga "lari" dari kejaran aparat hukum.
Saya sangat malu menjadi orang Indonesia ketika melihat satu kelompok penyampai aspirasi melakukan keributan dengan polisi.
Saya sangat malu menjadi orang Indonesia ketika melihat generasi mudanya bercumbu mesra dengan narkoba, minuman keras dan wanita yang tak semestinya.
Sebagai pelajar.
Saya malu menjadi pelajar Indonesia yang ke sekolah hanya untuk mencari nilai yang besar.
Saya malu menjadi pelajar Indonesia yang bahkan melakukan hal-hal yang dilarang untuk mendapatkan nilai besar.
Saya malu jadi pelajar Indonesia yang sombong hanya karena mendapatkan nilai yang besar.
Saya malu jadi pelajar Indonesia yang kecewa hanya karena mendapatkan nilai yang kecil di sekolah.
Saya malu jadi pelajar Indonesia yang tidak bisa mendapatkan apa-apa dari proses pembelajaran di sekolah.
Saya benar-benar malu menjadi orang Indonesia yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk Indonesia.
Entah apapun yang sudah saya lakukan selama in di negara ini.
Entah bagaimanapun saya menjalani hari demi hari di negara ini.
Saya sebenarnya malu jadi orang Indonesia.
Saya sebenarnya malu jadi orang Indonesia yang cuma bisa mengomentari kekurangan negara ini dengan "keras", tapi bahkan untuk upacara bendera pun saya malas.
Saya sebenarnya malu jadi orang Indonesia yang cuma bisanya memaki-maki tim olahraga Indonesia, padahal di saat yang lain saya memuji-muji mereka karena kemenangan yang mereka raih dari usaha yang mereka lakukan.
Saya sebenarnya malu jadi orang Indonesia yang bisanya terus mengungkit kekurangan pemerintah dan jarang menyadari hal lain yang bermanfaat untuk saya, yang sudah diusahakan pemerintah.
Saya juga sebenarnya malu jadi orang Indonesia yang bisanya selalu diam beribu bahasa dengan apapun yang terjadi di negara ini dan sama sekali tidak memikirkan nasib bangsa ini, apalagi untuk memberikan kontribusi yang lebih untuk negara ini.
Saya benar-benar malu.
Saya sangat malu menjadi orang Indonesia ketika melihat pejabat yang merupakan penggrus negara menjadi orang yang mata duitan, kemudian dengan jabatannya dia mengambil uang rakyat.
Saya sangat malu menjadi orang Indonesia ketika melihat sekelumit rakyat negara ini memiliki prestasi dalam cabang olahraga "lari" dari kejaran aparat hukum.
Saya sangat malu menjadi orang Indonesia ketika melihat satu kelompok penyampai aspirasi melakukan keributan dengan polisi.
Saya sangat malu menjadi orang Indonesia ketika melihat generasi mudanya bercumbu mesra dengan narkoba, minuman keras dan wanita yang tak semestinya.
Sebagai pelajar.
Saya malu menjadi pelajar Indonesia yang ke sekolah hanya untuk mencari nilai yang besar.
Saya malu menjadi pelajar Indonesia yang bahkan melakukan hal-hal yang dilarang untuk mendapatkan nilai besar.
Saya malu jadi pelajar Indonesia yang sombong hanya karena mendapatkan nilai yang besar.
Saya malu jadi pelajar Indonesia yang kecewa hanya karena mendapatkan nilai yang kecil di sekolah.
Saya malu jadi pelajar Indonesia yang tidak bisa mendapatkan apa-apa dari proses pembelajaran di sekolah.
Saya benar-benar malu menjadi orang Indonesia yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk Indonesia.
Wednesday, November 15, 2017
Pesan Untuk Guru, Dari Muridmu yang Merupakan Seorang Pemalas
Jadi pelajar itu memang menyenangkan. Apalagi saat mendapatkan nilai yang tinggi, dapat peringkat pertama di kelas dan bisa berprestasi di dalam atau juga di luar sekolah. Saya yakin, semua pelajar pasti menginginkan hal itu, termasuk saya sendiri. Tapi, ternyata jadi pelajar bukan sekedar untuk berusaha mendapatkan hal itu semua. Bahkan, kita itu bisa dikatakan hebat jika mendapatkan apa yang tidak orang lain inginkan. Karena memang makna hebat itu tidak sesempit yang dipikirkan banyak orang. Jadi, jangan sampai salah paham ya.
Saya ulangi, saya pikir semua pelajar menginginkan apa yang sudah saya sebutkan di atas. Mereka rajin datang ke sekolah, rajin mengerjakan tugas di sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah dan giat belajar saat menjelang menghadapi ujian. Semangat yang bagus. Mereka itu pelajar yang luar biasa. Tak cuma rajin, mereka memang memiliki keinginan yang kuat untuk berhasil dan sukses, khususnya berhasil dan sukses di sekolah.
Rajin atau giatnya mereka memang tidak akan menjadi hal yang sia-sia. Pak, Bu Guru, mereka sangat layak untuk kalian sayangi, untuk kalian bimbing, untuk kalian bina dan untuk kalian tempa. Sejak saat ini, mereka sudah bisa dikatakan sebagai generasi penerus bangsa yang unggul. Saya bahkan merasa bangga, meski sekedar dekat dengan mereka. Seperti memiliki kebanggaan tersendiri melihat dan mendengar prestasi mereka.
Lain halnya dengan diri saya.
Saya yang entah kenapa selalu dihampiri rasa malas untuk mengerjakan tugas. Saya yang hanya pandai berbicara di kelas, tapi selalu tertinggal dalam mengerjakan tugas. Terkadang, jawaban dari setiap tugas yang saya kerjakan, lebih singkat dari yang lain. Terkadang, saya baru mengumpulkan tugas di hari dimana tugas itu sudah selesai diperiksa.
Belum selesai.
Saya yang terkadang tidak menulis apa yang guru tulis di papan tulis. Berlagak sok kuat memori, dengan beralasan bahwa saya langsung "mencatatnya" di otak. Saya, yang terkadang, berlagak sok pintar, dengan tidak memperhatikan apa yang sedang guru jelaskan. Ah, pelajar macam apa saya ini.
Dengan apa yang selama ini saya lakukan, dengan rasa malas yang selalu saya rasakan, semua itu memang sudah cukup untuk menjadi alasan untuk menyalahkan saya atau mungkin memarahi saya. Itu cukup. Maka dari itu, sangat tidak etis jika saya tidak meminta maaf. Bahkan, ucapan maaf saya sudah disampaikan di awal/di judul artikel ini.
Tapi.
Semua permintaan maaf ini tidak akan begitu saja saya sampaikan. Selanjutnya, ini tidak akan menjadi sebuah pembelaan. Tapi, saya pikir, saya harus menyampaikan ini. Tidak hanya kepada guru-guru. Tapi, ini untuk semua orang yang memiliki perhatian terhadap apa yang akan saya bagikan. Entah itu sebuah kata 'SETUJU' atau mungkin 'TIDAK SETUJU'.
Seperti yang sudah beberapa kali saya sampaikan, saya ini memang merupakan pelajar yang malas. Saya malas jika disuruh guru untuk menulis ulang/duplikasi suatu pembahasan dari satu buku yang sebenarnya milik kita ke buku catatan lagi. Saya malas jika disuruh guru mengerjakan soal yang jawabannya sudah gamblang/tertera di buku dan mudah diakses. Saya akan malas jika disuruh guru untuk mendapatkan nilai tinggi dengan alasan agar kita bisa sukses. Tolong pahami itu.
Menulis kembali kalimat demi kalimat yang sudah ada sumbernya, bahkan sumbernya itu kita miliki sendiri adalah hal yang SIA-SIA. Entah mungkin mutlak karena saya yang memang pemalas atau tidak, rasanya hal tersebut memang tak lebih hanya untuk melatih kita bagaimana menulis yang indah.
Entah efektif dan optimal atau tidak, tapi, ketika saya diberikan soal, kemudian jawabannya secara eksplisit tertera di suatu sumber, lalu tinggal menyalinnya, apa gunanya ?
Saya tahu, melaksanakan perintah guru memang menjadi suatu keharusan, tapi, ketika perintah untuk disandingkan dengan alasan agar bisa mendapatkan nilai tinggi untuk kesuksesan, saya rasa itu sesuatu yang tidak terlalu jauh dengan sebuah MITOS. Saya tidak suka jika saya dituntut untuk mendapatkan nilai tinggi. Saya tahu, saya memang tidak sepintar mereka yang mendapatkan nilai tinggi. Tapi, saya lebih suka dimotivasi untuk bisa memahami suatu pelajaran, tanpa harus dengan embel-embel nilai.
Yah, lewat tulisan ini, sangat kental dengan kesan untuk membela diri. Terserah apa yang nantinya pembaca persepsikan, tapi, semoga ada banyak orang di luaran sana yang mengerti apa yang ingin saya sampaikan lewat tulisan ini. Jika pun memang benar saya membela diri, sungguh saya membela pelajar lain yang memang merasakan apa yang saya rasakan. Saya, dia dan mereka yang memang jarang dimengerti oleh orang lain.
Terima kasih. Semoga bermanfaat.
Saya ulangi, saya pikir semua pelajar menginginkan apa yang sudah saya sebutkan di atas. Mereka rajin datang ke sekolah, rajin mengerjakan tugas di sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah dan giat belajar saat menjelang menghadapi ujian. Semangat yang bagus. Mereka itu pelajar yang luar biasa. Tak cuma rajin, mereka memang memiliki keinginan yang kuat untuk berhasil dan sukses, khususnya berhasil dan sukses di sekolah.
Rajin atau giatnya mereka memang tidak akan menjadi hal yang sia-sia. Pak, Bu Guru, mereka sangat layak untuk kalian sayangi, untuk kalian bimbing, untuk kalian bina dan untuk kalian tempa. Sejak saat ini, mereka sudah bisa dikatakan sebagai generasi penerus bangsa yang unggul. Saya bahkan merasa bangga, meski sekedar dekat dengan mereka. Seperti memiliki kebanggaan tersendiri melihat dan mendengar prestasi mereka.
Lain halnya dengan diri saya.
Saya yang entah kenapa selalu dihampiri rasa malas untuk mengerjakan tugas. Saya yang hanya pandai berbicara di kelas, tapi selalu tertinggal dalam mengerjakan tugas. Terkadang, jawaban dari setiap tugas yang saya kerjakan, lebih singkat dari yang lain. Terkadang, saya baru mengumpulkan tugas di hari dimana tugas itu sudah selesai diperiksa.
Belum selesai.
Saya yang terkadang tidak menulis apa yang guru tulis di papan tulis. Berlagak sok kuat memori, dengan beralasan bahwa saya langsung "mencatatnya" di otak. Saya, yang terkadang, berlagak sok pintar, dengan tidak memperhatikan apa yang sedang guru jelaskan. Ah, pelajar macam apa saya ini.
Dengan apa yang selama ini saya lakukan, dengan rasa malas yang selalu saya rasakan, semua itu memang sudah cukup untuk menjadi alasan untuk menyalahkan saya atau mungkin memarahi saya. Itu cukup. Maka dari itu, sangat tidak etis jika saya tidak meminta maaf. Bahkan, ucapan maaf saya sudah disampaikan di awal/di judul artikel ini.
Tapi.
Semua permintaan maaf ini tidak akan begitu saja saya sampaikan. Selanjutnya, ini tidak akan menjadi sebuah pembelaan. Tapi, saya pikir, saya harus menyampaikan ini. Tidak hanya kepada guru-guru. Tapi, ini untuk semua orang yang memiliki perhatian terhadap apa yang akan saya bagikan. Entah itu sebuah kata 'SETUJU' atau mungkin 'TIDAK SETUJU'.
Seperti yang sudah beberapa kali saya sampaikan, saya ini memang merupakan pelajar yang malas. Saya malas jika disuruh guru untuk menulis ulang/duplikasi suatu pembahasan dari satu buku yang sebenarnya milik kita ke buku catatan lagi. Saya malas jika disuruh guru mengerjakan soal yang jawabannya sudah gamblang/tertera di buku dan mudah diakses. Saya akan malas jika disuruh guru untuk mendapatkan nilai tinggi dengan alasan agar kita bisa sukses. Tolong pahami itu.
Menulis kembali kalimat demi kalimat yang sudah ada sumbernya, bahkan sumbernya itu kita miliki sendiri adalah hal yang SIA-SIA. Entah mungkin mutlak karena saya yang memang pemalas atau tidak, rasanya hal tersebut memang tak lebih hanya untuk melatih kita bagaimana menulis yang indah.
Entah efektif dan optimal atau tidak, tapi, ketika saya diberikan soal, kemudian jawabannya secara eksplisit tertera di suatu sumber, lalu tinggal menyalinnya, apa gunanya ?
Saya tahu, melaksanakan perintah guru memang menjadi suatu keharusan, tapi, ketika perintah untuk disandingkan dengan alasan agar bisa mendapatkan nilai tinggi untuk kesuksesan, saya rasa itu sesuatu yang tidak terlalu jauh dengan sebuah MITOS. Saya tidak suka jika saya dituntut untuk mendapatkan nilai tinggi. Saya tahu, saya memang tidak sepintar mereka yang mendapatkan nilai tinggi. Tapi, saya lebih suka dimotivasi untuk bisa memahami suatu pelajaran, tanpa harus dengan embel-embel nilai.
Yah, lewat tulisan ini, sangat kental dengan kesan untuk membela diri. Terserah apa yang nantinya pembaca persepsikan, tapi, semoga ada banyak orang di luaran sana yang mengerti apa yang ingin saya sampaikan lewat tulisan ini. Jika pun memang benar saya membela diri, sungguh saya membela pelajar lain yang memang merasakan apa yang saya rasakan. Saya, dia dan mereka yang memang jarang dimengerti oleh orang lain.
Terima kasih. Semoga bermanfaat.
Monday, November 13, 2017
Kasus Korupsi E-KTP : Di Balik "Serangan Balik" yang Mengejutkan
Di akhir pekan, saat rutinitas berkurang dan istirahat yang lebih dioptimalkan, yah memang jujur, waktu lebih banyak saya habiskan untuk menonton televisi. Apapun acaranya, tidak pilih-pilih sih, jika menarik ya ditonton. Saat channel yang satu jeda iklan, pindah ke channel lain, dan begitu seterusnya.
Di sepanjang "perjalanan" pencet-pencet tombol remote itu, ada satu masa dimana akhirnya saya sampai di salah satu channel televisi yang memang fokus pada sajian berita. Pada saat itu, berita yang disampaikan adalah terkait dengan kasus korupsi KTP elektronik yang memang sedang heboh-hebohnya dibicarakan. Saat menyimak berita itu, saya memang sudah tidak terlalu merasa asing lagi. Pembaca juga tahulah, seberapa menghebohkannya berita ini.
Isi beritanya saat itu adalah tentang kembali diberikannya status tersangka kepada pemimpin legislatif di negara ini. Para pembaca mungkin sudah tahu, bahkan tanpa harus saya memberitahunya lagi. Karena memang, sebelumnya dia juga sempat menjadi tersangka, namun kemudian dicabut karena menang dalam sidang praperadilan.
Berita penting, namun saya tidak terlalu terkejut. Bagi saya yang "buta" akan hukum, saya pikir mungkin KPK sudah punya alat bukti baru yang cukup kuat untuk menjadi pegangan, sehingga mereka kembali memberikan status tersangka kepada pemimpin badan legislatif yang saya maksud. (mungkin loh ya, bisa bener, bisa juga salah)
(toh, yang saya paham cuma hukum di tata tertib sekolah kok)
Pembahasan berita di televisi terus berlanjut. Hingga pada akhirnya saya menemukan sesuatu yang membuat saya heran. Setelah kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, pihak pengacara dari pemimpin badan legislatif yang saya maksud ternyata tidak menerima begitu saja keputusan KPK. (ya iyalah, tugas mereka kan itu. MEMBELA.)
Apa yang mereka lakukan ?
Mereka ternyata melakukan "serangan balik" dengan melaporkan beberapa pihak KPK, bahkan termasuk pimpinannya atas dasar pelanggaran UU KUHAP. Saya yang memang masih pelajar dan benar-benar tidak paham tentang masalah hukum, saya hanya merasa heran dengan semua itu.
Rasa heran saya sebenarnya bermula dari alasan yang disampaikan pihak pengacara, ya, pelanggaran KUHAP. Pemikiran orang awam seperti saya mengatakan bahwa orang-orang yang bekerja di KPK atau bahkan menjadi pengacara adalah mereka yang terdidik dan juga memiliki pemahaman mengenai hukum yang luas. Entah itu benar-benar tepat atau tidak, tapi pikiran saya dan mungkin juga kebanyakan orang mengatakan hal yang demikian.
Yang membuat saya heran adalah ketika mendengar penuturan dari pihak pengacaranya saja, sepertinya itu sudah cukup menggambarkan bahwa orang-orang di KPK tidak paham mengenai KUHP atau KUHAP di negara ini. Ah, MASA SIH ? TIDAK MUNGKIN. Penyidik KPK tidak bisa dikatakan sedikit, dan saya kira mereka benar-benar terpilih, mana mungkin mereka melakukan kekeliruan ? (sebenernya bisa aja sih. hehehe :v)
Tapi . . . (apalagi sih?)
Yang berbicara mengenai adanya sebuah pelanggaran adalah pengacara, yang saya yakin mereka adalah sebuah tim dan sudah memiliki pendidikan tinggi di bidang hukum. Apa benar dia atau lebih tepatnya mereka yang salah ? Sebagai orang yang awal tentang hukum, saya hanya memikirkan hal tersebut. (ehh, ngomong-ngomong, saya juga punya pikiran loh)
Selamanya, tidak akan pernah ada yang ambigu mengenai mana yang benar dan mana yang salah. Saya sendiri yakin, diantara keduanya ada yang lebih benar dibanding yang lainnya. Namun, saya benar-benar tidak mengerti dari mana saya bisa menilainya. Bayangkan, saya yang hanya seorang pelajar SMA, sok berani mengomentari sebuah persoalan yang menyangkut kepentingan negara. (Dasar pelajar TIDAK TAHU DIRI!)
Di sisi lain, saya juga merasa bahwa semua pelajar atau siapapun itu, harus punya keberanian untuk mengungkapkan hal-hal yang muncul dibenak mereka, apalagi yang menyangkut kepentingan orang banyak. (Intinya gak perlu takut!)
Jadilah seperti saya! (ehh) Maksudnya, jadilah orang yang kritis, yang berani mengungkapkan opini, pendapat atau pandangan, apalagi untuk kepentingan orang banyak. Gak perlu takut kok. Karena, setiap kebijakan yang goal-nya adalah untuk kemajuan dari suatu bangsa, dimulai keresahan dan kesulitan dari rakyat yang DIUNGKAPKAN.
Terima kasih sudah membaca artikel ringan ini. Semoga, isinya yang ringan tidak membuat manfaat yang didapat dari artikel ini juga ringan.
Di sepanjang "perjalanan" pencet-pencet tombol remote itu, ada satu masa dimana akhirnya saya sampai di salah satu channel televisi yang memang fokus pada sajian berita. Pada saat itu, berita yang disampaikan adalah terkait dengan kasus korupsi KTP elektronik yang memang sedang heboh-hebohnya dibicarakan. Saat menyimak berita itu, saya memang sudah tidak terlalu merasa asing lagi. Pembaca juga tahulah, seberapa menghebohkannya berita ini.
Isi beritanya saat itu adalah tentang kembali diberikannya status tersangka kepada pemimpin legislatif di negara ini. Para pembaca mungkin sudah tahu, bahkan tanpa harus saya memberitahunya lagi. Karena memang, sebelumnya dia juga sempat menjadi tersangka, namun kemudian dicabut karena menang dalam sidang praperadilan.
Berita penting, namun saya tidak terlalu terkejut. Bagi saya yang "buta" akan hukum, saya pikir mungkin KPK sudah punya alat bukti baru yang cukup kuat untuk menjadi pegangan, sehingga mereka kembali memberikan status tersangka kepada pemimpin badan legislatif yang saya maksud. (mungkin loh ya, bisa bener, bisa juga salah)
(toh, yang saya paham cuma hukum di tata tertib sekolah kok)
Pembahasan berita di televisi terus berlanjut. Hingga pada akhirnya saya menemukan sesuatu yang membuat saya heran. Setelah kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, pihak pengacara dari pemimpin badan legislatif yang saya maksud ternyata tidak menerima begitu saja keputusan KPK. (ya iyalah, tugas mereka kan itu. MEMBELA.)
Apa yang mereka lakukan ?
Mereka ternyata melakukan "serangan balik" dengan melaporkan beberapa pihak KPK, bahkan termasuk pimpinannya atas dasar pelanggaran UU KUHAP. Saya yang memang masih pelajar dan benar-benar tidak paham tentang masalah hukum, saya hanya merasa heran dengan semua itu.
Rasa heran saya sebenarnya bermula dari alasan yang disampaikan pihak pengacara, ya, pelanggaran KUHAP. Pemikiran orang awam seperti saya mengatakan bahwa orang-orang yang bekerja di KPK atau bahkan menjadi pengacara adalah mereka yang terdidik dan juga memiliki pemahaman mengenai hukum yang luas. Entah itu benar-benar tepat atau tidak, tapi pikiran saya dan mungkin juga kebanyakan orang mengatakan hal yang demikian.
Yang membuat saya heran adalah ketika mendengar penuturan dari pihak pengacaranya saja, sepertinya itu sudah cukup menggambarkan bahwa orang-orang di KPK tidak paham mengenai KUHP atau KUHAP di negara ini. Ah, MASA SIH ? TIDAK MUNGKIN. Penyidik KPK tidak bisa dikatakan sedikit, dan saya kira mereka benar-benar terpilih, mana mungkin mereka melakukan kekeliruan ? (sebenernya bisa aja sih. hehehe :v)
Tapi . . . (apalagi sih?)
Yang berbicara mengenai adanya sebuah pelanggaran adalah pengacara, yang saya yakin mereka adalah sebuah tim dan sudah memiliki pendidikan tinggi di bidang hukum. Apa benar dia atau lebih tepatnya mereka yang salah ? Sebagai orang yang awal tentang hukum, saya hanya memikirkan hal tersebut. (ehh, ngomong-ngomong, saya juga punya pikiran loh)
Selamanya, tidak akan pernah ada yang ambigu mengenai mana yang benar dan mana yang salah. Saya sendiri yakin, diantara keduanya ada yang lebih benar dibanding yang lainnya. Namun, saya benar-benar tidak mengerti dari mana saya bisa menilainya. Bayangkan, saya yang hanya seorang pelajar SMA, sok berani mengomentari sebuah persoalan yang menyangkut kepentingan negara. (Dasar pelajar TIDAK TAHU DIRI!)
Di sisi lain, saya juga merasa bahwa semua pelajar atau siapapun itu, harus punya keberanian untuk mengungkapkan hal-hal yang muncul dibenak mereka, apalagi yang menyangkut kepentingan orang banyak. (Intinya gak perlu takut!)
Jadilah seperti saya! (ehh) Maksudnya, jadilah orang yang kritis, yang berani mengungkapkan opini, pendapat atau pandangan, apalagi untuk kepentingan orang banyak. Gak perlu takut kok. Karena, setiap kebijakan yang goal-nya adalah untuk kemajuan dari suatu bangsa, dimulai keresahan dan kesulitan dari rakyat yang DIUNGKAPKAN.
Terima kasih sudah membaca artikel ringan ini. Semoga, isinya yang ringan tidak membuat manfaat yang didapat dari artikel ini juga ringan.
Thursday, November 9, 2017
Masalah Penyebaran Konten Terlarang Di Internet, Siapa Yang Salah ?
Berbicara mengenai internet, ada banyak hal yang bisa kita bahas. Dari mulai sejarah sampai ke bagian yang lebih teknis. Tentunya, itu akan membutuhkan waktu yang lama dan tulisan yang begitu panjang. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, kita akan membahas internet dari sudut pandang yang lain.
Jika saya mengatakan bahwa internet memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, tentunya hal itu tidak bisa kita pungkiri. Namun, di sisi lain, jika saya mengatakan bahwa internet memiliki dampak negatif, tentunya kita akan melihat pada kenyataan yang ada. Kenyataan dimana memang ada hal-hal negatif yang bisa kita temukan dalam internet. Bahkan, ada juga mereka yang menggunakan internet itu sendiri sebagai media atau alat untuk melakukan tindak kejahatan. Karena ini juga, kemudian kita tidak salah jika membenarkan bahwa internet memiliki sesuatu yang bisa dibilang negatif.
Mengenai dampak positif dari internet, saya rasa itu yang memang kita inginkan. Tidak banyak yang mesti kita bicarakan. Akan tetapi, lain halnya mengenai masalah hal-hal negatif yang muncul seiring adanya teknologi internet. Kita semua tentu tidak menginginkan hal tersebut ada. Maka dari itu, pembicaraan mengenai hal-hal negatif yang ditimbulkan seiring adanya internet menjadi sebuah pembicaraan yang menarik, yang terus "hidup" dari waktu ke waktu. Apalagi, dengan semakin bertambahnya usia zaman, semakin tinggi pula implementasi dan penggunaan teknologi, termasuk internet.
Selama ini, sering kita temui upaya-upaya preventif atau juga represif, yang khususnya dilakukan otoritas pemerintahan untuk mencegah pengaruh-pengaruh yang bisa ditemui dalam teknologi ini. Katakanlah, kita lebih menyoroti tentang konten-konten negatif yang bertebaran di media sosial. Upaya yang dimaksud seperti pemblokiran situs website, pemblokiran aplikasi hingga bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan teknologi terkait untuk meminimalisir penyebaran konten-konten negatif di media sosial atau juga situs website.
Kita, saya khususnya, tentu mesti mengakui tujuan baik dari upaya tersebut. Akan tetapi, terlepas dari itu semua, saya sendiri memiliki pandangan pribadi mengenai hal tersebut. Pada dasarnya, saya memiliki rasa heran terhadap upaya-upaya pemblokiran yang dilakukan pemerintah, yang semakin ke sini semakin gencar dilakukan. Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya tidak membantah terhadap tujuan baiknya, tapi jika memang orientasinya kepada masa depan, kepada antisipasi dampak buruk yang ditimbulkan, maka pemblokiran jangan dilakukan.
Pemblokiran terhadap berbagai "fasilitas" yang sejatinya memudahkan ini, seperti memberi kesan bahwa yang salah adalah teknologinya. Inilah yang tidak saya setujui. Ini seperti berdusta terhadap kemudahan dan hal-hal positif yang ditimbulkan teknologi ini. Baik, agar tidak terjadi salah paham, kembali saya tegaskan bahwa saya tidak menampik tujuan baik dari tindakan tersebut. Akan tetapi, saya merasa ada kesia-sian juga disini.
Semenjak hebohnya kasus-kasus mengenai penyebaran berita hoax beserta konten negatif lainnya yang bertebaran di dunia maya, kemudian diiringi beragam upaya pemerintah untuk memberantas atau meminimalisir hal tersebut, rasanya ada hal yang menggelitik dalam benak dan pikiran saya. Saya pikir, apa yang dilakukan pemerintah selama ini sangat dekat dengan yang namanya "kesia-siaan".
Saya ingin menegaskan bahwa fakta yang ada pun menunjukkan bahwa tidak ada sistem yang sempurna untuk mengendalikan manusia untuk tidak membuat dan menyebarluaskan konten negatif di dunia internet yang luas, dinamis dan misterius ini. Tidak ada yang bisa membantah hal itu. Karena pada prinsipnya, cara untuk mengalahkan teknologi adalah dengan teknologi lagi. Dan itu tidak bertujung. Disinilah kesia-siaan yang saya maksud.
Namun, meskipun begitu, bukan berarti kita tidak bisa menghindari efek atau dampak negatif dari konten-konten negatif yang bertebaran di "alam internet" ini. Satu hal yang paling utama, ketika kita tidak bisa mengendalikan pelakunya adalah dengan berusaha mengontrol calon korban, Ya, EDUKASI pengguna atau konsumen internet adalah satu-satunya jalan paling ampu, ya meskipun tidak semudah yang dikatakan.
Memblokir satu website, tidak membuat oknum-oknum tertentu untuk berhenti membuat website yang serupa. Apalagi dengan teknologi dan dukungan pengetahuan tinggi yang membuat suatu sistem tidak mudah dibobol atau diblokir pemerintah. Ini yang dimaksud anomali teknologi.
Salah satu kelemahan yang bisa ditemukan adalah ketika pemerintah memblokir situs terlarang, namun bisa dengan mudah diakses user hanya dengan menggunakan satu aplikasi atau ekstensi web browser. Ini yang namanya anomali teknologi. Teknologi melawan teknologi.
Melarang penggunaan suatu aplikasi yang sebetulnya bisa sangat bermanfaat, kemudian hanya karena disalahgunakan suatu oknum yang tidak bertanggung jawab, ini yang namanya kesenjangan dan ketidakadilan. Terkadang, saya pun harus mengkritik pemerintah terkait kebijakannya yang bersifat parsial, meski saya yakini dan pahami tujuan baik dari apa yang pemerintah lakukan.
Namun, kembali bahwa saya paham akan visi dari pemerintah. Maka dari itu, sebanyak apapun dan sekuat apapun sistem blokir, itu tidak akan membuat proses produksi dan distribusi konten negatif di internet bisa berhenti. Anda tahu tidak, bahwa ada sekitar 94 persen konten yang tersembunyi di internet, dengan istilah yang familiar dengan dark web or dark net. Konten-konten tersebut tidak bisa dengan mudah diakses seperti konten-konten lain yang kita semua ketahui dan bisa dengan mudah diakses.
Bayangkan, konten-konten yang bertebaran, yang sebegitu banyaknya yang bisa kita akses, hanya 4 persen dari seluruh konten yang ada di internet, pada dimensi lain dari internet ini tentunya. Kita tidak tahu isi dan konten apa yang tersebar, karena memang hanya bisa diakses oleh pihak atau orang tertentu saja, termasuk pemerintah. Apalagi ada istilah mariana web yang diilhami dari Palung Mariana, daerah terdalam di muka bumi. Mariana Web merupakan kumpulan web yang benar-benar dalam. Bayangkan saja.
Ini menjelaskan bahwa perkara terkait kekhawatiran dari penyebaran konten negatif di internet, bukan salah dari teknologinya dan bukan kesalahan mutlak dari yang membuat dan menyebarluaskannya. Baiklah, kunci permasalahannya ada pada si pembuatnya. Ketika kita bisa mengatasi kuncinya, tentu ini sikap yang krusial.
Namun, mari kita berpikir lebih rasional! Dari apa yang sudah saya sampaikan sebelumnya terlihat bahwa hal yang paling rasional untuk bisa kita lakukan adalah mengenai pengendalian konsumen atau pengguna yang notabenenya adalah "calon korban". Artinya, kita harus lebih mementingkan upaya agar mereka tidak benar-benar menjadi korban. Itu yang utama.
Terima kasih. Semoga bermanfaat.
Friday, October 27, 2017
Pesan Buat Kamu, Yang Ke Sekolah Cuma Buat Cari Nilai
Saya seorang pelajar, lebih tepatnya masih seorang pelajar. Kira-kira, saat saya menulis artikel ini, saya sudah menyicipi bangku sekolah selama 9 tahun, dimulai sejak dari Sekolah Dasar. Sudah cukup banyak hal yang saya alami selama dalam "dunia ini", meskipun saya menyadari bahwa semua itu tidak seberapa dibanding orang lain di luar sana.
Dari mulai suka, bahkan duka. Mendapat hal yang membahagiakan dimata banyak orang, seperti mendapat nilai tinggi dan mendapat tropi. Dan tentunya juga merasakan yang biasa dibilang sebagai hal yang menyedihkan dan memalukan bagi banyak orang, seperti mendapat nilai kecil, remedial dan juga dihukum. Semuanya pernah saya alami.
Tapi, ya sudahlah, itu tidak mengapa.
Semua itu adalah hal yang luar biasa. Ya, luar biasa. Ketika mengikuti perspektif dan paradigma kebanyakan orang, saya tahu, itu hal yang dianggap biasa. Tapi, disinilah saya bisa merasakan arti sebenarnya dari makna pelajar dan belajar. Saya tidak akan menganggap meraih prestasi dan nilai yang tinggi adalah hal yang mengagumkan. Lalu kemudian, menganggap mendapat nilai kecil, remedial dan juga dihukum adalah hal menyedihkan atau bahkan memalukan.
Saya paham, sangat paham. Selama merasakan bangku sekolah, kita semua memang dituntut untuk bisa berprestasi, mendapat nilai tinggi dan masuk perguruan tinggi negeri. Saya paham, sangat paham. Ketika seorang pelajar mendapatkan itu semua, tentunya sebuah kebanggaan dan kebahagiaan akan muncul. Saya paham, sangat paham. Bahkan, saya sendiri memiliki keinginan untuk mendapatkan itu semua. Sulit dipercaya jika menemukan mereka yang kontradiktif dengan hal itu.
(Tentunya, saya ucapkan selamat bagi siapa saya yang sudah mendapatkan semua itu)
Kebanyakan sistem pendidikan saat ini memang menuntut itu semua, tak terkecuali di negeri kita tercinta ini, Indonesia. Nilai bukan hanya menjadi sebuah parameter dalam dunia pendidikan dan kebanggaan bagi para pelajar. Saat ini, nilai seperti sebuah ideologi pendidikan. Dimana, nilai menjadi sebuah inti dari pendidikan itu sendiri. Ya, tidak bisa dipungkiri bahwa adanya.
Sekali lagi, saya tidak bisa membantah hal tersebut.
Akan tetapi, di balik semua anggapan saya itu, entah kenapa, saya memiliki perasaan dan pemikiran yang mengganjal mengenai nilai dalam dunia pendidikan itu sendiri. Saya pernah menulis beberapa artikel yang secara implisit mengatakan bahwa saya tidak menyetujui penerapan nilai sebagai acuan penilaian kecerdasan seseorang, yang intinya nilai itu tidak representatif. Terlalu lama jika harus saya jelaskan lagi. Pembaca bisa membacanya di :
Masih seputar nilai itu sendiri, tapi saya akan mencoba membahasnya dalam perspektif atau sudut pandang lain. Semuanya sebetulnya bermuara pada ketidaksetujuan saya terhadap penggunaan nilai sebagai acuan tingkat kecerdasan seseorang. Sebagai seorang pelajar yang memang bodoh, yang membela siapapun pelajar, terutama yang setuju dengan pandangan saya, saya kerap merasa risih terhadap pelajar lain yang saya temui, yang mereka menggilai dari nilai.
Kembali saya ulas, hal yang wajar ketika pelajar mencari sebuah nilai di sekolah. Karena memang kita dituntut untuk itu. Akan tetapi, yang saya maksud disini adalah mereka yang terlalu terobsesi dengan nilai. Ini berdasarkan atas apa yang saya temui sendiri. Apapun itu tugas dari guru, dia semangat mengerjakan karena memang ada embel-embel nilai. Semangatnya itu yang mesti dicontoh semua pelajar, tapi alasan dia semangatlah yang tidak saya suka dan setujui.
Ketika guru memberikan tugas, apakah harus memastikan bahwa kita akan menerima hadiah, penghargaan atau nilai ? Nilai itu memang mesti dicari, tapi tolonglah, jangan sampai mengesampingkan esensi dan substansi dari proses belajar dan pendidikan yang sebenarnya. Bangsa ini tidak akan besar, hanya dengan nilai besar yang diraih generasi pelajarnya.
Kamu tahu, saat ini kebanyakan residivis adalah mereka yang memiliki pendidikan yang tinggi dan tentunya sangat logis jika kita beranggapan bahwa mereka dulunya adalah seorang pelajar yang mendapatkan nilai yang tinggi.
Maka dari itu, saya yang juga seorang pelajar tidak ingin membenci kamu yang seorang pelajar, yang ke sekolah hanya untuk mencari nilai. Saya tidak mengajarkan anda untuk apatis dan skeptis terhadap nilai dan begitu saja masa bodoh dengan nilai yang besar. Saya juga memiliki keinginan untuk mendapatkan nilai tinggi, tapi tolong jangan sampai melakukan tindakan dan sikap yang mengubah dasar atau fondasi dari pendidikan yang ingin membentuk pribadi yang terdidik. Fondasi pembelajaran yang ingin membentuk pribadi yang terpelajar.
Lagi pula, seperti yang sudah disampaikan dalam tulisan saya yang lain, yang memang memiliki kesan ketidaksepahaman saya terhadap nilai berupa angka dalam dunia pendidikan yang digunakan sebagai parameter aspek-aspek penilaian. Karena saya merupakan pribadi yang sangat benci ketika ada pelajar yang mendapatkan nilai kecil, kemudian dicap sebagai orang yang bodoh, bahkan oleh gurunya.
Kembali saya tegaskan bahwa mencari nilai adalah bukan hal yang salah dan banyak diantara pelajar yang mendapatkan nilai tinggi, karena memang merupakan seseorang yang cerdas. Yang saya benci adalah ketika semangat belajar dan mengerjakan tugas hanya akan muncul ketika motivasi-nya adalah sebuah nilai. Itu merupakan bentuk distorsi esensi dari belajar. Dan merupakan salah satu bentuk dekadensi dunia pendidikan.
Tulisan ini terlihat dan terkesan seperti sebuah "pemberontakan" dan "protes". Kesan pertama yang muncul dari para pembaca mungkin adalah bahwa ada seorang pelajar yang bodoh, yang kerap mendapat nilai kecil dan remedial, kemudian mengalami gangguan psikis, lalu menulis artikel untuk membela diri. Selamat, anda benar. Saya memang sesuai dengan anggapan itu.
Apapun itu pandangan para pembaca terhadap tulisan ini, saya hanya berharap tulisan ini bisa menginspirasi. Menginspirasi ? Sepertinya tidak. Memotivasi ? Untuk tidak termotivasi mendapat nilai besar ? Sepertinya tidak juga. Apapun manfaatnya, intinya semoga bisa memberikan pencerahan yang menerangkan bagi siapapun yang membaca tulisan ini.
Terima kasih.
Dari mulai suka, bahkan duka. Mendapat hal yang membahagiakan dimata banyak orang, seperti mendapat nilai tinggi dan mendapat tropi. Dan tentunya juga merasakan yang biasa dibilang sebagai hal yang menyedihkan dan memalukan bagi banyak orang, seperti mendapat nilai kecil, remedial dan juga dihukum. Semuanya pernah saya alami.
Tapi, ya sudahlah, itu tidak mengapa.
Semua itu adalah hal yang luar biasa. Ya, luar biasa. Ketika mengikuti perspektif dan paradigma kebanyakan orang, saya tahu, itu hal yang dianggap biasa. Tapi, disinilah saya bisa merasakan arti sebenarnya dari makna pelajar dan belajar. Saya tidak akan menganggap meraih prestasi dan nilai yang tinggi adalah hal yang mengagumkan. Lalu kemudian, menganggap mendapat nilai kecil, remedial dan juga dihukum adalah hal menyedihkan atau bahkan memalukan.
Saya paham, sangat paham. Selama merasakan bangku sekolah, kita semua memang dituntut untuk bisa berprestasi, mendapat nilai tinggi dan masuk perguruan tinggi negeri. Saya paham, sangat paham. Ketika seorang pelajar mendapatkan itu semua, tentunya sebuah kebanggaan dan kebahagiaan akan muncul. Saya paham, sangat paham. Bahkan, saya sendiri memiliki keinginan untuk mendapatkan itu semua. Sulit dipercaya jika menemukan mereka yang kontradiktif dengan hal itu.
(Tentunya, saya ucapkan selamat bagi siapa saya yang sudah mendapatkan semua itu)
Kebanyakan sistem pendidikan saat ini memang menuntut itu semua, tak terkecuali di negeri kita tercinta ini, Indonesia. Nilai bukan hanya menjadi sebuah parameter dalam dunia pendidikan dan kebanggaan bagi para pelajar. Saat ini, nilai seperti sebuah ideologi pendidikan. Dimana, nilai menjadi sebuah inti dari pendidikan itu sendiri. Ya, tidak bisa dipungkiri bahwa adanya.
Sekali lagi, saya tidak bisa membantah hal tersebut.
Akan tetapi, di balik semua anggapan saya itu, entah kenapa, saya memiliki perasaan dan pemikiran yang mengganjal mengenai nilai dalam dunia pendidikan itu sendiri. Saya pernah menulis beberapa artikel yang secara implisit mengatakan bahwa saya tidak menyetujui penerapan nilai sebagai acuan penilaian kecerdasan seseorang, yang intinya nilai itu tidak representatif. Terlalu lama jika harus saya jelaskan lagi. Pembaca bisa membacanya di :
- MITOS : Hanya Orang Cerdas Yang Akan Sukses
- Orang Pintar dan Orang Bodoh Itu Tidak Ada, Ini Penjelasannya
- 3 Hal Yang Membuat Orang Pintar Bisa "Kalah" Karena Kepintarannya
- Pintar Itu (Bukan) Karena Nilai
- Student True Story : Frustasi Karena Mendapatkan Nilai Kecil
- MITOS : Pelajar Yang Mendapatkan Nilai Yang Kecil Adalah Pelajar Yang Bodoh
Masih seputar nilai itu sendiri, tapi saya akan mencoba membahasnya dalam perspektif atau sudut pandang lain. Semuanya sebetulnya bermuara pada ketidaksetujuan saya terhadap penggunaan nilai sebagai acuan tingkat kecerdasan seseorang. Sebagai seorang pelajar yang memang bodoh, yang membela siapapun pelajar, terutama yang setuju dengan pandangan saya, saya kerap merasa risih terhadap pelajar lain yang saya temui, yang mereka menggilai dari nilai.
Kembali saya ulas, hal yang wajar ketika pelajar mencari sebuah nilai di sekolah. Karena memang kita dituntut untuk itu. Akan tetapi, yang saya maksud disini adalah mereka yang terlalu terobsesi dengan nilai. Ini berdasarkan atas apa yang saya temui sendiri. Apapun itu tugas dari guru, dia semangat mengerjakan karena memang ada embel-embel nilai. Semangatnya itu yang mesti dicontoh semua pelajar, tapi alasan dia semangatlah yang tidak saya suka dan setujui.
Ketika guru memberikan tugas, apakah harus memastikan bahwa kita akan menerima hadiah, penghargaan atau nilai ? Nilai itu memang mesti dicari, tapi tolonglah, jangan sampai mengesampingkan esensi dan substansi dari proses belajar dan pendidikan yang sebenarnya. Bangsa ini tidak akan besar, hanya dengan nilai besar yang diraih generasi pelajarnya.
Kamu tahu, saat ini kebanyakan residivis adalah mereka yang memiliki pendidikan yang tinggi dan tentunya sangat logis jika kita beranggapan bahwa mereka dulunya adalah seorang pelajar yang mendapatkan nilai yang tinggi.
Maka dari itu, saya yang juga seorang pelajar tidak ingin membenci kamu yang seorang pelajar, yang ke sekolah hanya untuk mencari nilai. Saya tidak mengajarkan anda untuk apatis dan skeptis terhadap nilai dan begitu saja masa bodoh dengan nilai yang besar. Saya juga memiliki keinginan untuk mendapatkan nilai tinggi, tapi tolong jangan sampai melakukan tindakan dan sikap yang mengubah dasar atau fondasi dari pendidikan yang ingin membentuk pribadi yang terdidik. Fondasi pembelajaran yang ingin membentuk pribadi yang terpelajar.
Lagi pula, seperti yang sudah disampaikan dalam tulisan saya yang lain, yang memang memiliki kesan ketidaksepahaman saya terhadap nilai berupa angka dalam dunia pendidikan yang digunakan sebagai parameter aspek-aspek penilaian. Karena saya merupakan pribadi yang sangat benci ketika ada pelajar yang mendapatkan nilai kecil, kemudian dicap sebagai orang yang bodoh, bahkan oleh gurunya.
Kembali saya tegaskan bahwa mencari nilai adalah bukan hal yang salah dan banyak diantara pelajar yang mendapatkan nilai tinggi, karena memang merupakan seseorang yang cerdas. Yang saya benci adalah ketika semangat belajar dan mengerjakan tugas hanya akan muncul ketika motivasi-nya adalah sebuah nilai. Itu merupakan bentuk distorsi esensi dari belajar. Dan merupakan salah satu bentuk dekadensi dunia pendidikan.
Tulisan ini terlihat dan terkesan seperti sebuah "pemberontakan" dan "protes". Kesan pertama yang muncul dari para pembaca mungkin adalah bahwa ada seorang pelajar yang bodoh, yang kerap mendapat nilai kecil dan remedial, kemudian mengalami gangguan psikis, lalu menulis artikel untuk membela diri. Selamat, anda benar. Saya memang sesuai dengan anggapan itu.
Apapun itu pandangan para pembaca terhadap tulisan ini, saya hanya berharap tulisan ini bisa menginspirasi. Menginspirasi ? Sepertinya tidak. Memotivasi ? Untuk tidak termotivasi mendapat nilai besar ? Sepertinya tidak juga. Apapun manfaatnya, intinya semoga bisa memberikan pencerahan yang menerangkan bagi siapapun yang membaca tulisan ini.
Terima kasih.
Tuesday, October 24, 2017
Inilah Pentingnya Mengikuti Perlombaan atau Kompetisi Bagi Pelajar
Pada kesempatan kali ini, saya akan kembali membahas hal mengenai pelajar. Saya tidak akan pernah bosan untuk terus mengulas bahwa kita semua mengetahui tugas utama dari seorang pelajar adalah belajar. Arti atau makna dari 'belajar' itu sendiri begitu luas. Belajar disini tidak hanya berkutat pada pendidikan akademik di kelas, namun juga pendidikan lain, katakanlah non-akademik yang meliputi pendidikan karakter.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan di luar akademik memiliki peranan yang begitu krusial. Oleh karena itu, salah satu hal yang mesti ditekankan adalah tentang pentingnya menyelaraskan pendidikan akademik dan karakter, apalagi jika kita melihat pada keadaan zaman sekarang. Dan hal inilah yang akhir-akhir ini memang mencuat ke permukaan. Sayangnya, kenapa baru sekarang ?
Terlepas dari hal itu, masih berbicara mengenai pendidikan karakter, tentunya ada banyak metode, cara, konsep atau juga teknik yang bisa dilakukan dalam proses pembentukan pendidikan karakter. Saya tidak akan membahas satu per satu, pada kesempatan kali ini saya akan mencoba fokus pada satu pembahasan. Yang akan kita bahas kali ini adalah mengenai Pentingnya Mengikuti Perlombaan atau Kompetisi Bagi Pelajar.
Ya, dalam dunia pendidikan, dalam hal ini dunia pelajar, kita akan kerap menemukan adanya berbagai kompetisi atau perlombaan yang diselenggarakan berbagai pihak yang tentu pesertanya adalah para pelajar. Berbagai lomba dalam berbagai bidang bisa kita temukan, dari mulai lomba akademik dan non-akademik, seperti seni dan olahraga. Perlombaan yang diselenggarakan pun dari berbagai jenjang dan tingkatan, seperti antar SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi bahkan pelajar antar negara. Dari mulai tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, Negara bahkan Dunia.
Sebagai seorang pelajar, rasanya tentu akan sangat membanggakan jika bisa berpartisipasi bahkan menjuarai perlombaan tersebut. Dan itu yang saya alami sendiri. Puji syukur, dari mulai SD sampai SMA sekarang, saya berkesempatan mengikuti berbagai perlombaan antar pelajar. Mekipun, saya lebih sering tidak mendapatkan juara. Tapi tidak masalah, yang ingin saya bagikan adalah mengenai apa sih pentingnya mengikuti berbagai kompetisi atau perlombaan bagi pelajar ?
Pertama, saya akan menegaskan pentingnya memiliki pengalaman. Apapun hasilnya, bahkan kalah sekalipun, satu hal yang pasti kita dapatkan adalah pengalaman. Jika kita memiliki pengalaman mengikuti perlombaan, kemudian kalah, setidaknya saya sudah mendapatkan pelajaran tentang bagaimana agar tidak kalah di kesempatan yang lain. Jika saya menang, saya akan mendapatkan pelajaran tentang bagaimana mempertahankan kemenangan.
Itulah pentingnya pengalaman.
Apapun hasilnya, kamu akan tetap mendapatkan pelajarannya. Tak hanya mendapatkan pelajaran tentang merubah keadaan, tapi juga menerima keadaan. Kamu tak hanya akan belajar mengenai cara menerima kekalahan, tapi kemenangan sekalipun. Tak hanya itu, kamu juga akan mengerti tentang arti kerja keras dan disiplin dalam berlatih. Kemudian, kamu juga bisa belajar tentang sportifitas dan jiwa ksatria. Itulah manfaat umum yang sangat berguna bagi kita sebagai pelajar.
Tidak sampai disitu sebetulnya, ada juga manfaat khusus yang bisa kita dapatkan sesuai dengan lomba yang kita ikuti. Misalnya kita mengikuti lomba debat. Pada saat lomba kita kalah dari pesaing dari sekolah lain. Dari situ, sebetulnya kita bisa mengambil pelajaran yang berharga tentang bagaimana berdebat yang baik, yang layak untuk mendapatkan juara.
Disinilah pentingnya mengikuti perlombaan atau kompetisi bagi seorang pelajar.
Mengikuti lomba atau kompetisi sebenarnya tidak perlu dalam ruang lingkup yang luas yang pertisius, perlombaan antar kelas atau bahkan antar teman di kelas pun memiliki manfaat dan terdapat pembelajaran di dalamnya. Sebetulnya, semua tergantung dari diri kita sendiri, adakah niat dan kemauan untuk ikut berpartisipasi ? Bisakah kita menyerap pembelajaran dari setiap kompetisi atau perlombaan yang kita ikuti ? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing.
Yang jelas, ada pembelajaran yang bisa kita ambil ketika berpartisipasi dalam suatu kompetisi atau perlombaan. Maka dari itu, jangan takut dan ragu untuk mengikuti perlombaan. Apapun nanti hasilnya, itu tidak penting. Karena ada manfaat lain yang jauh lebih berharga dibanding MENANG dan KALAH.
Terima kasih. Semoga bermanfaat.
Subscribe to:
Posts (Atom)